Home » » Apa Itu Defensive Medicine?

Apa Itu Defensive Medicine?

Written By demi anak on Kamis, 28 November 2013 | 19.26

Quote:

dokter : pengacara saya ingin berbicara dengan pengacara anda tentang risiko operasi anda nanti


Quote:
Defensive medicine adalah kondisi di mana dokter hanya akan melakukan tindakan medis jika dokter sudah merasa benar-benar aman dan yakin bahwa tindakannya tidak akan membahayakan posisinya.

Quote:Spoilerfor Pendahuluan: Kasus yang dialami dokter Ayu dan kedua temannya, diikuti dengan aksi solidaritas dokter-dokter se-Indonesia telah membuka mata kita bahwa era mudahnya pasien menuntut dokter rupanya sudah di depan mata.

Para dokter sebagai objek gugatan tentu mulai memikirkan nasib mereka. Kalau suatu saat mereka dipidanakan, maka bukan hanya mata pencaharian yang hilang, bukan hanya keluarga yang jadi terlantar, tapi juga nama baik yang akan tercemar.

Salah satu respon dokter untuk keamanan diri dan keluarganya adalah dengan cara melakukan defensive medicine, yang intinya adalah dokter baru akan melakukan tindakan di saat dia benar-benar yakin posisinya kuat di mata hukum dan aman dari gugatan. Dalam praktik sehari-harinya ini berarti proses informed consent yang jauh lebih lama, serta pemeriksaan-pemeriksaan yang lebih banyak dan jauh lebih mahal. Suatu hal yang sebenarnya sangat merugikan pasien apalagi pasien gawat darurat dan yang tidak mampu.

Quote:


Quote:Beberapa dokter sudah mengutarakan niatnya untuk melakukan defensive medicine

Spoilerfor Jika PK Ditolak, Dokter Ancam Bertindak Defensive Medicine: Jakarta - Para dokter yang tergabung dalam berbagai aliansi yakin peninjauan kembali (PK) kasus dr Ayu dkk akan dikabulkan. Sebab hasil keputusan Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) menyatakan mereka tidak bersalah.

Jika PK tersebut tidak dikabulkan, mereka khawatir dunia kedokteran akan semakin suram. Para dokter takut mengambil tindakan medis karena membahayakan posisinya.

"Kalau sampai PK ditolak, kemungkinan dokter akan melakukan defensive medicine," ujar Ketua Persatuan Obstetri Ginekologi Indonesia (POGI) Frizar Irmansyah dalam konferensi pers di restoran Natrabu, Jl Sabang, Jakarta Pusat, Rabu (27/11/2013).

Defensive medicine adalah kondisi di mana dokter hanya akan melakukan tindakan medis jika dokter sudah merasa benar-benar aman dan yakin bahwa tindakannya tidak akan membahayakan posisinya.

"Hal ini berpotensi merugikan masyarakat dan negara," katanya.

Menurut Agung, kasus tersebut telah terjadi di negara maju. Defensive medicine di negara-negara tersebut terbukti meningkatkan biaya kesehatan akibat peningkatan biaya pemeriksaan.

"Sekarang siapa yang mau menerima pasien yang sedang kritis dan kemungkinan akan meninggal kalau nanti akhirnya bisa berakhir di penjara," katanya.

Defensive medicine yang dilakukan para dokter tidak hanya berdampak pada pasien namun juga rumah sakit.

"Hasil PK akan menjadi acuan. Jika ditolak dokter akan mengalami kemunduran. Dampaknya tidak hanya merugikan dokter tapi rumah sakit juga," katanya.

"Dokter akan berpikir, daripada saya dituntut biarkan saja pasien mati," tutup Frizar.


Quote:


Quote:Penjelasan lebih dalam mengenai defensive medicine

Spoilerfor Defensive Medicine: Jawaban Dokter Amerika terhadap Kasus dr. Ayu: Latar Belakang

Dipenjaranya dr. Ayu, Sp.OG merupakan kasus yang sangat hangat dibicarakan akhir-akhir ini. Kasus ini mendapatkan tanggapan yang sangat luas, baik di pembicaraan dari mulut ke mulut hingga di media maya seperti Kompasiana. Kasus ini juga mendapatkan pandangan beragam, dari positif (masyarakat) hingga negatif (para dokter).

Para dokter (dan koleganya) bereaksi sangat keras terhadap keputusan Makamah Agung ini. Masyarakat pada umumnya menganggap bahwa reaksi para dokter tersebut sangatlah berlebihan. Reaksi tersebut berkisar dari pemakaian pita hitam sampai dengan izin tidak praktek tiga hari untuk turun ke jalan. Hal yang menjadi perhatian dokter adalah keputusan Mahkamah Agung ini dapat menjadi preseden bagi hakim-hakim lain untuk memutuskan kasus serupa.

Defensive Medicine: Jawaban Dokter Amerika terhadap Kasus dr. Ayu

Dengan adanya hak pasien untuk menggugat dokter, para dokter menimbulkan reaksi tertentu. Reaksi jangka pendek tersebut adalah hal-hal yang disebutkan di atas. Reaksi jangka panjangnya adalah timbulnya dan diterapkannya Defensive Medicine atau Defensive Medical Decision Making (selanjutnya kita sebut dengan DMDM).

Defensive medicine occurs when doctors order tests, procedures, or visits, or avoid high-risk patients or procedures, primarily (but not necessarily or solely) to reduce their exposure to malpractice liability.

(Congressional Office of Technology Assessment, 1994)

Intinya, DMDM bertujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadi kasus hukum baik pidana maupun perdata terhadap dokter. DMDM sendiri ada yang bersifat aktif dan bersifat pasif. DMDM aktif meliputi permintaan prosedur tambahan. Sedangkan DMDM pasif meliputi menghindari pasien dengan risiko tinggi untuk menimbulkan kasus hukum.

Active Defensive Medicine (ADM)

ADM meliputi tindakan-tindakan yang bersifat lebih untuk menghindari gugatan hukum. ADM dapat berupa permintaan prosedur yang berlebihan dan pengkakuan informed consents (persetujuan tindakan medis).

Kasus 1: Seorang pasien datang kepada dokter dengan keluhan nyeri dada. Dokter mendiagnosisnya dengan kasus gangguan pencernaan. Dokter tersebut menyarankan untuk mengubah pola makan dan memberinya obat. Akan tetapi, karena ekspresi pasien yang sedemikian rupa, dokter tersebut memiliki pikiran lain untuk melakukan serangkaian pemeriksaan untuk menghilangkan diagnosis banding penyakit jantung, walaupun diagnosisnya sudah tepat dan pemeriksaan tersebut tidak diperlukan.

Pada kasus di atas, dokter tersebut telah melakukan defensive medicine untuk menghindari gugatan hukum. Setiap pemeriksaan memiliki spesifisitas dan sensitivitas masing-masing dan memang benar apabila pemeriksaan tersebut dilakukan semua akan menyebabkan diagnosis yang lebih akurat. Akan tetapi, semakin banyak pemeriksaan dilakukan maka pertambahan tingkat keakuratan berkurang, sehingga proses menjadi tidak efisien alias cost effectiveness rendah. Akibatnya, biaya kesehatan akan meningkat. Hal senada juga diungkapkan pada artikel ini. Selain itu, banyaknya pemeriksaan akan mempengaruhi tingkat keselamatan pasien, terutama pada kasus yang dapat menimbulkan disabilitas permanen dan juga peningkatan penggunaan alat pemeriksaan (demand) yang mengakibatkan tarif pemeriksaan naik dan adanya pasien penting yang tidak terlayani. Di Amerika Serikat, perilaku ini telah menghabiskan puluhan juta dollar.

Kasus 2: Seorang pasien kegawatan datang bersama keluarganya kepada dokter di ruang UGD. Pasien tersebut telah mengalami shock hipovolemia dengan tampang tidak sadarkan diri dan tekanan darah 70/50 sehingga membutuhkan transfusi darah segera. Setelah pemeriksaan awal tersebut, dokter melakukan inform-consent panjang lebar yang mencangkup hasil diagnosa, tindakan, dan alternatifnya serta risiko yang ditimbulkan. Setelah inform-consent yang lama selesai, pasien tersebut meninggal dunia akibat shock hipovolemia dan tindakan belum sempat dilakukan.

Pada kasus di atas, dokter tersebut telah melakukan defensive medicine dengan meminta aspek medikolegal dari suatu tindakan. Aspek medikolegal yang diminta oleh dokter tersebut antara lain inform-consent yang terdiri atas inform (pemeriksaan/tindakan yang dilakukan, tujuan, prosedur serta risiko) dan consent. Dokter tersebut bersikukuh untuk aspek medikolegal yang lengkap sehingga tidak dipersalahkan ketika berada di gugatan hukum. Dampak negatif dari hal ini sudah tampak pada kasus. Hal ini diakibatkan oleh kasus dr. Ayu yang didasarkan fakta bahwa klausa emergensi pada peraturan menteri yang jelas ‘melempem’ (tidak berefek) dibandingkan klausa malapraktik yang diatur pada undang-undang kesehatan. Hal ini sebenarnya jelas karena di dalam hukum, peraturan yang lebih tinggi (dalam hal ini UU Kesehatan) akan berprioritas jika bertentangan dengan peraturan di bawahnya (Peraturan Menteri).

Passive Defensive Medicine (PDM)

PDM meliputi aspek menghindari pasien berisiko tinggi melakukan penuntutan. Hal ini bisa dilakukan dengan menghindari secara langsung pasien dengan risiko tinggi dan menghindari bekerja di bagian yang menangani pasien berisiko tinggi. Contoh kasus untuk menghindari secara langsung pasien dengan risiko tinggi adalah sebagai berikut.

Kasus 3: (…dalam era BPJS,) dokter A mengatakan kepada pasien, “Jadi saya sudah menemukan bahwa bapak sebaiknya saya kirim kepada dokter B karena ketiadaaan alat dan pemeriksaan di sini.” Dokter A berkata dalam hati, “…faktor risiko banyak, merokok iya, kurang olahraga iya, konsumsi alkohol iya (…) dari pada saya disuruh tanggung jawab nantinya lebih baik saya berikan ke dokter lain saja.”

Kasus 4: Seorang pasien datang kepada dokter B. Pada saat anamnesis, pasien mengaku berprofesi sebagai *sensor*. Kemudian dokter tersebut berkata, “Maaf. Saya tidak melayani Anda karena kurangnya alat pemeriksaan, Anda dapat pindah mencari dokter lain.” Padahal dokter tersebut menolak karena pasien tersebut terkenal dalam hal memperkarakan dokter.

Kasus 5: Seseorang jatuh di lapangan tidak sadarkan diri. Anda, seorang dokter yang tengah melintas, melakukan pemeriksaan awal dan menemukan bahwa orang tersebut tidak bernapas dan tidak memiliki nadi. Dokter tersebut kemudian berpikir jika dia memberikan bantuan (cardio-pulmonary resuscitation) dan gagal, kemungkinan besar dia akan dituntut. Kemudian dokter tersebut hanya memanggil ambulans tanpa melakukan resusitasi walaupun telah bersertifikat pelatihan kegawatan dalam cardio-respiratori. Korban meninggal sesaat kemudian di perjalanan dengan ambulans.

PDM juga dapat dilakukan dengan menghindari bekerja di bagian yang menangani pasien berisiko tinggi. Tempat yang dianggap berisiko tinggi antara lain Sp.OG (Kebidanan) dan Spesialis Bedah (dan subbagiannya atau yang terkait). Hal ini menyebabkan penurunan peserta program pendidikan spesialis tersebut dan berlanjut kepada kurangnya lulusan/jumlah dokter-dokter spesialis tersebut. Hal ini dapat mengakibatkan banyak hal seperti lambatnya penanganan, turunnya konsentrasi dokter, dan meningkatkan angka kematian akibat kurangnya kuantitas. (Saya adalah salah seorang yang tidak mau mengambil spesialisasi bedah akibat hal di atas.)

Penutup


Akhir kata, praktik defensive medicine merupakan reaksi jangka panjang atas kasus tuduhan malapraktik yang dilakukan oleh dokter. Defensive medicine memiliki pengaruh yang besar terhadap tenaga kesehatan dan pasien. Penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya apabila ada pihak-pihak yang kurang sependapat dengan apa yang saya tulis. Terima Kasih.

Update 27/11/2013 5:37 AM:

Saya baru tahu dari dr. Wahyu Triasmara, bahwa dokter boleh menolak pasien, oleh karena itu, Kasus 3 dan Kasus 4 akan diungkapkan lebih gamblang dari apa yang ada di teks.


semoga era defensive medicine yang memakan banyak biaya itu ga sampai terjadi. saat ini saja kita sudah kepayahan membiayai bidang kesehatan.

semoga dokter dan pasien bisa saling menghargai.
maju terus bidang hukum dan kesehatan Indonesia


sumber:

http://news.detik..com/read/2013/11/...nsive-medicine

http://kesehatan.kompasiana.com/medi...yu-610990.html


kaskuser yang udah ngerti apa itu defensive medicine
Spoilerfor yang udah ngerti: Quote:Original Posted By ErnestoGuevara.â–º


Menurut bu Ernest ini tahun2 95 mulai ngetrend di US di mana di US angka sue kepada dokter tinggi sekaliiii! Akhirnya dokter2 tidak mau melakukan tindakan apapun kalau pemeriksaan penunjang tidak menunjukan benar2 bahwa pasien benar2 sakit tertentu.

Pemeriksaan penunjang means lab darah lah, thorax photo lah, EKG, Echocardio lah, Thread mill lah, stress echo lah, radionucleid lah, CT lah, MMRI lah, dll dll dll.

Bagus sih buat dokternya...akhirnya kalau ada apa2 dia sudahsiap dengan setumpuk evidence.

Yang mampus ya PASIEN yang harus bayar pemeriksaan penunjang. Dan tentunya insurance.

Tapi itu ya harga yang luw dan gua harus bayar karena di Indonesia sekarang iklimnya begini.

Kan dokter Indo kalau ndak goblog ya harus salah.

Kalau yg di Malaka atau Penang ya pasti bener dan pinter2.



Quote:Original Posted By YourMommy â–º
agan TS, sejawat, thread bagus yg sangat informatif dengan bahasa yg cukup sederhana untuk dimengerti.

mudah2an dapat dimengerti dan dipikirkan baik2 oleh masyarakat pengaruhnya kasus ini.

saya rasa sih masyarakat Indonesia tidak mampu menghadapi defensive medicine, lha wong disuruh general checkup aja banyak emoh. defensive medicine yg akan mengakibatkan bertambahnya berbagai macam test itu akan membuat cost semakin tinggi. belum lagi melalui test yg komprehensif itu bisa ditemukan adanya keadaan medis yg tidak diketahui sebelumnya dan jika keadaan2 tersebut juga akan dirawat maka semakin tambah besar cost yg harus ditanggung.

bisa request momod untuk sticky? sayang thread yg sangat informatif ini tenggelam kalau tidak disticky.

Quote:Original Posted By felixch â–º


Karena ini Perang Psikologis buat PK, bro
kalo PK gagal, mau kemana lagi?
buat Judial Review makan waktu, batas penahanan 10bulan pasti udah lewat.
kalo masa tahanan dr. Ayu berakhir, bearti dokter udah kalah, besok2 makin banyak tuntutan ke dokter,
percaya deh.... di negara mamarika pernah seperti itu. akhirnya asuransi buat dokter menjamur, subsidi kesehatan membengkak dan pasti nya sinetron seperti Grey anatomy & house MD muncul ente bisa liat di sinetron itu, 1kasus, tes & cek lab penunjang nya seberapa banyak

Quote:Original Posted By raisa_farizza â–º


dalam tulisan saya, saya sebutkan mungkin defensive medicine memang satu satunya jalan biar dokter tenang bekerja.....saya kok malah udah yakin aja untuk menjalankannya lho.....mengingat sistem peradilan indonesia sendiri juga belum bersih (harus diakui.....) ntar kalo saya diperkarakan, meski saya bener tapi dikalahin mungkin aja toh? nah untuk mengantisipasinya (setidaknya meminimalisir) mungkin defensive medicine jalannya....(semoga ini hanya pikiran saya lho, semoga dokter lain engga)....







kaskuser yang udah ngerti kasus dokter ayu
Spoilerfor yang udah ngerti: Quote:Original Posted By c0maâ–º


1. Kalo dokter salah, aborsi tanpa indikasi, gk ikutin SOP yg ada, dihukum ya silahkan..
2. Kalo udah ngikutin SOP/Aturan yang ada, tp hasil gk sesuai, trus dihukum?

Baca yg bener ya, ini yg dipermasalahkan poin 2.. Bukan poin 1 nya.
Toh kalo memang dokter Ayu sendiri terbukti melanggar, gw yakin para dokter sendiri bakal oke2 aja kalau beliau dipenjara..
Yang jadi masalah, info yang beredar simpang siur, dan pengadilan sendiri gk terbuka ttg kasus yang bersangkutan. Ya akhir nya jadi bola liar..


Quote:Original Posted By Khloroos â–º
Intinya gini

Banyak kalangan yang melakukan demo karena oleh MKEK tindakan dr ayu dan sejawat itu tidak menyalahi prosedur.

itu pula yang diputuskan di PN Manado.

namun di MA hal ini dianggap salah.

kalau dokter yang merasa bekerja menurut SOP yang mereka anggap benar (terutama kaitannya dengan kegawat daruratan) maka dokter merasa gamang apabila mereka bekerja nanti suatu saat bisa dituntut penjara sekalipun oleh MKEK mereka dinyatakan tidak bersalah.

hubungan dokter pasien itunkan trust based jadi selain mereka mengalami kurungan badan mereka akan kehilangan kepercayaan dari pasien sekalipun oleh MKEK mereka dinyatakan tidak bersalah.

Jadi selain solidaritas, poin penting dari aksi yang dilakukan dokter itu adalah menyorot soal hubungan dokter dan pelayanan kesehatan - MKEK dan lembaga peradilan.

ini pulalah yang menyebabkan dokter merasa untuk apa mereka mempertaruhkan masa depan mereka dan keluarga mereka untuk melakukan suatu tindakan yang sekalipun oleh MKEK dianggap sebagai tindakan yang benar bisa berujung ke kasus pidana. Which is defensive medicine entah dengan menghabiskan waktu untuk tes lab dan informed consent maupun mengurangi jam kerja dan merujuk pasien ke tempat lain.

ane nangkepnya gitu...

saran ane sih kalah menang dalam PK ada baiknya idi tetap melakukan judicial review dan mengusahakan agar permenkes soal kegawat daruratan bisa di inkorporasi kedalam UU.

menurut ane ini penting buat kemenkes untuk segera merumuskan standar pelayanan yang mengatur soal kegawatdaruratan seperti dibahas di berita satu supaya pasien tenang dan dokter pun tenang. Jadi SOP berlaku nasional dan lintas asosiasi dokter baik itu yang spesialis idi secara umum, maupun asosiasi yang berhubungan dengan pendidikan kedokteran. Apalagi tahun depan sudah era BPJS.



kaskuser yang setuju sama defensive medicine
Spoilerfor yang setuju: Quote:Original Posted By UseYourMindâ–º
Gw ga keberatan dengan devensive medicine, yang bikin males omongan ini orang.. Biarin pasien mati..
Ketika pasien sudah tau dengan resiko yg ada pasti bisa mikir sendiri lah

Quote:Original Posted By cyber boy â–º
wah semoga aja bisa diterapin jadi nanti kedepannya ga ada lagi kasus kaya gini

Quote:Original Posted By RubiSafir â–º
Defensive medicine? Boleh, lakukan saja. Toh bagus buat kedua belah pihak kan? Namanya sakit itu emang mahal. Kalau miskin engga boleh sakit. Bener kok.



lanjut ke posting #95

penting dibaca dulu sebelum posting :

Spoilerfor yang perlu diperhatikan: Quote:Original Posted By YourMommyâ–º
arguing just to argue... pathetic...

sejawat, CMIIW dan please ditambahkan, mengenai kasus dokter Ayu ini versi sederhananya:

  • dokter tidak mengurusi masalah administrasi seperti biaya2.
  • masalah administrasi seperti biaya2 adalah urusan RS.
  • dokter umum yg melanjutkan studi untuk menjadi dokter spesialis itu menjalani program residensi.
  • program tersebut dilaksanakan di RS pendidikan.
  • dokter tsb memang jelas tidak memiliki SIP dokter spesialis krn memang blm menjadi dokter spesialis.
  • dokter tsb mempunyai SIP khusus dari RS untuk program residensi.
  • dokter melaksanakan tindakan sesuai dgn SOP yg telah ditentukan oleh pihak RS.
  • dokter tidak bisa menjanjikan hasil, dokter hanya dapat melakukan yg terbaik sesuai dgn kemampuannya.
  • jika dokter telah melakukan tindakan sesuai dgn SOP tsb maka dokter tidak dapat disalahkan.
  • jika ada kekurangan pada SOP maka pihak yg seharusnya disalahkan adalah RS, bukan dokternya.



Never wrestle with a pig, you'll both get dirty and the pig will enjoy it.

You can change a person's way of thinking through argumentation. You can, for a small percentage of the population. For the rest, you have to cauterize parts of their brains.

"Never argue with an idiot. They will only bring you down to their level and beat you with experience." - George Carlin


kita tidak ada kewajiban untuk menanggapi insults dsb. ingin mencari tahu dan mencari solusi itu jelas beda dgn hanya venting anger and grudge saja.

kita di thread ini bukan arguing to win, bukan arguing just to argue. kita disini memaparkan apa itu defensive medicine dan apa manfaat - mudharatnya bagi pelayanan kesehatan di Indonesia.

Sumber :http://www.kaskus.co.id/thread/5296022af8ca17d41f000030

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © 2014. Kaskus Hot Threads - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger