Tempat perjuangan Reformasi sejati
Tengoklah kembali ke tahun 1998 maka anda akan berpikir berapa banyak manusia Indonesia yang masih berpikir tentang besarnya pengorbanan bangsa dan negara. Bayangkan saja ibu kota negara hancur lebur karena kerusuhan terbesar abad 20 yang diduga telah dirancang sebelumnya, dilanjutkan dengan pertempuran yang terjadi adalah antara mahasiswa tambah sebagian warga negara melawan tentara tambah polisi huru hara dan Brimob tambah Pamswakarsa ciptaan Wiranto. Lalu siapa yang masih memikirkan korban pasca semua itu?
Kami tidak ingin menjadi pahlawan kesiangan tapi kami ingin mereka yang gugur karena peristiwa itu menjadi Pahlawan. Tidak pandang mereka mahasiswa, bukan mahasiswa, pribumi bukan pribumi, anak pejabat atau anak jalanan. Kematian mereka menjadi duka negara ini (seharusnya) dan kami di sini untuk selalu mengingatkan bahwa darah yang tertetes tidak dapat terlupakan. Kehadiran kami untuk mendidik generasi mendatang supaya sejarah kelam tidak berulang dan tidak melupakan Pahlawan mereka yang sesungguhnya.
Bagi kami kenangan 1998 adalah mimpi buruk yang terlalu sering kami impikan. Ingatan tersebut menembus pikiran kami setiap hari seperti kejadian kemarin sore. Apalagi keluarga korban?
*Pengantar dari salah seorang aktivis 98
Tragedi Lampung ( kebetulan TS Alumni Unila )
Quote:
Tragedi Lampung terjadi berawal ketika mahasiswa dari Universitas Lampung (Unila) berjalan menuju Universitas Bandar Lampung (UBL) untuk bergabung dengan rekan mereka melakukan aksi untuk menentang RUU PKB serta unjuk rasa solidaritas bagi rekan mereka yang meninggal dari Universitas Indonesia, Yun Hap, empat hari sebelumnya di Jakarta. Setelah bergabung, mereka melakukan unjuk rasa dan berjalan menuju Makorem 043/Garuda Hitam. Akan tetapi, ketika melewati Markas Koramil Kedaton dekat UBL mahasiswa terprovokasi karena bendera merah putih masih dipasang penuh, dengan segera mereka menurunkannya menjadi setengah tiang demi penghormatan bagi Pahlawan Reformasi mereka yang baru saja gugur.
Setelah itu keadaan menjadi tidak terkendali karena Komandan Koramil menolak kehendak mahasiswa untuk menandatangani penolakan diberlakukannya UU PKB sehingga mahasiswa melempari kantornya dengan batu. Anggota Koramil lainnya menghindar untuk kemudian setelah itu membalas dengan melakukan penembakan. Mahasiswa terpencar dan lari menyelamatkan diri ke dalam kampus UBL. Saat itulah diketahui butiran peluru telah mengambil nyawa Muhammad Yusuf Rizal.
Hari itu tanggal 28 September 1999 Muhammad Yusuf Rizal, mahasiswa jurusan FISIP Universitas Lampung (Unila) angkatan 1997, meninggal dunia dengan luka tembak di dadanya tembus hingga ke belakang dan juga sebutir peluru menembus lehernya (sumber: Suara Pembaruan 29/9/99). Ia tertembak di depan markas Koramil Kedaton. Puluhan mahasiswa juga mengalami luka-luka sehingga harus masuk rumah sakit.
Banyaknya korban disebabkan kampus Universitas Bandar Lampung (UBL) dimasuki oleh aparat keamanan baik yang berseragam maupun yang tidak berseragam, yang melepaskan tembakan saat mahasiswa melakukan demonstrasi yang menentang RUU PKB pada tanggal 28 September 1999 tersebut. Aparat juga melakukan pengejaran dan pemukulan terhadap mahasiswa. Selain itu aparat juga melakukan perusakan di dalam kampus yaitu berupa gedung, kendaraan roda dua dan roda empat. Tindakan anarkis aparat ini sungguh menakutkan mahasiswa maupun dosen di UBL sehingga kampus harus diliburkan untuk beberapa hari.
Berbeda dengan kejadian gugurnya mahasiswa lain di luar Lampung, ternyata untuk peristiwa ini ada yang mengakui untuk bertanggung jawab, hanya bagaimana penyelesaian secara hukumnya saja yang sampai kini tak jelas. Komandan Detasemen POM II/3 Sriwijaya Lampung Letkol CPM Bagoes Heroe Sucahyo menyatakan bahwa Dewan Eksekutif Mahasiswa Unila telah menerima surat permintaan maaf dari Kol Inf Mujiono (Danrem 043/Garuda Hitam). Sementara itu ia (Bagoes H. Sucahyo) juga menyita proyektil peluru yang bersarang di tubuh korban. Dengan ini ia merupakan orang yang paling bertanggung jawab akan barang bukti yang membunuh Yusuf Rizal.
Tragedi Semanggi
Quote:
Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan ini dan mereka mendesak pula untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa 1998 dan juga menentang dwifungsi ABRI/TNI karena dwifungsi inilah salah satu penyebab bangsa ini tak pernah bisa maju sebagaimana mestinya. Benar memang ada kemajuan, tapi bisa lebih maju dari yang sudah berlalu, jadi, boleh dikatakan kita diperlambat maju. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari dunia internasional terlebih lagi nasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mecegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa. Sejarah membuktikan bahwa perjuangan mahasiswa tak bisa dibendung, mereka sangat berani dan jika perlu mereka rela mengorbankan nyawa mereka demi Indonesia baru.
Pada tanggal 12 November 1998 ratusan ribu mahasiswa dan masyrakat bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil menembus ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan mahasiswa). Pada malam harinya terjadi bentrok pertama kali di daerah Slipi dan puluhan mahasiswa masuk rumah sakit. Satu orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus, terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia.
Esok harinya Jum'at tanggal 13 November 1998 ternyata banyak mahasiswa dan masyarakat sudah bergabung dan mencapai daerah Semanggi dan sekitarnya, bergabung dengan mahasiswa yang sudah ada di depan kampus Atma Jaya Jakarta. Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak malam hari dan pagi hingga siang harinya jumlah aparat semakin banyak guna menghadang laju mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama masyarakat dikepung dari dua arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan menggunakan kendaraan lapis baja.
Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar jam 3 sore kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan membabibuta oleh aparat dan saat di jalan itu juga sudah ada mahasiswa yang tertembak dan meninggal seketika di jalan. Ia adalah Teddy Wardhani Kusuma, merupakan korban meninggal pertama di hari itu.
Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Atma Jaya untuk berlindung dan merawat kawan-kawan dan masyarakat yang terluka. Korban kedua penembakan oleh aparat adalah Wawan, yang nama lengkapnya adalah Bernadus R Norma Irawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Atma Jaya, Jakarta. Mulai dari jam 3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan saat itu juga lah semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu hingga jumlah korban yang meninggal mencapai 15 orang, 7 mahasiswa dan 8 masyarakat. Indonesia kembali membara tapi kali ini tidak menimbulkan kerusuhan.
Anggota-anggota dewan yang bersidang istimewa dan tokoh-tokoh politik saat itu tidak peduli dan tidak mengangap penting suara dan pengorbanan masyarakat ataupun mahasiswa, jika tidak mau dikatakan meninggalkan masyarakat dan mahasiswa berjuang sendirian saat itu. Peristiwa itu dianggap sebagai hal lumrah dan biasa untuk biaya demokrasi. "Itulah yang harus dibayar mahasiswa kalau berani melawan tentara".
Betapa menyakitkan perlakuan mereka kepada masyarakat dan mahasiswa korban peristiwa ini. Kami tidak akan melupakannya, bukan karena kami tak bisa memaafkan, tapi karena kami akhirnya sadar bahwa kami memiliki tujuan yang berbeda dengan mereka. Kami bertujuan memajukan Indonesia sedangkan mereka bertujuan memajukan diri sendiri dan keluarga masing-masing. Sangat jelas!
Sumber :http://www.kaskus.co.id/thread/000000000000000002490299
0 komentar:
Posting Komentar